Detik akhir
(5 menit sebelum UAN’09 usai, 09:54:56)
April 20th, 2009
Jemariku tak lagi menari, lesu
hanya suara kletak-kletok jam dinding,
sesekali kertas terbolak-balik, jenuh aku
Seseorang bukan usil menjatuhkan pensil,
jelas tangis sang pensil yang patah ujung runcingnya
pilu, seseorang tak bawa serutan
Atau jua hak sepatu tinggi ibu-ibu muda, na’udzubillah
tapal kuda kembali terdengar, dan ini jeritan alam
bedak menor luntur, bercampur akan peluhnya
Terik!
Desis mereka yang bertubi-tubi
pun tersapu semilirnya kipas angin tua di tengah neraka ini
Si Bapak hanya mengantuk malas
berita acaranya adalah liurnya, dengkurnya tiba-tiba
Bapak tak hiraukan secarik kertas melayang di ubun-ubunnya
uh, petaka pun lewat bagi si empu kertas itu
Makin nikmat saja ia bercumbu, berbagi aroma busuk
dengan lalat nakal ujung mulut nganga tak terjaga
Teeet!!!
Datang berdentang sebagai pertanda
menggema hingga pojok-pojok kolong meja bobrok
Jantung pun kembali berdetak
oleh karena si Bapak mangaum dahsyat, terjaga
Menuju detik-detik akhir, melewati sisa-sisa waktu
Dan jemari ini tetap enggan menari
Namun, aku yakin Tuhan Maha Pemberi
Nyaris Mati Kutu
(hari kedua UAN’09)
April 21st, 2009
Bapak itu,
Tatapan tajam, kerut wajahnya adalah prinsipnya
minta ampun si bola mata, pelit!
bahkan kutu rambutku turut merinding
debu pun enggan hinggapi jas hitamnya
hanya buluh-buluh makiku yang berontak di hati
Ibu itu,
sepatu tapal kudanya masih sama
berpadu dalam kegarangan di mataku, menggertak
seolah monster-monster dalam pikirku, mematikan
tek lepas sedetikpun pandangannya
muak aku, caci-makiku meletup-letup
Aku itu,
aku itu tak berkutik, mati
aku lemah tak berdaya, kecil tak berarti
sekali berpindah pandang pun tak berani
namun sial, begitu baiknya iblis keparat
bisiknya mengalirkan tetuah paten
Tuhan bersama orang-orang Pemberani
hingga kutu di kepalaku tak jadi mati
terbunuh monster jantan betina tak beranak pinak itu
Usai Lima Menit Lalu
(hari ketiga UAN’09 usai)
April 22nd, 2009
Kali ini, mata ini tak buta atau pura-pura buta
telinga ini tak lagi tuli atau pun pura-pura tuli
rasa ini ada dan tak kan pernah tiada
Pernah tahu akan hitam dan putih?
Pernah jua tahu akan gelap dan terang?
Itu dia!
Walau ujian ini usai lima menit lalu
sesaat sebelum akhir waktu, sepi
seolah lemas lunglai habis berfikir mati
keluar dengan langkah gontai
namun gemuruh-gemuruh kaki, bertolak dari sunyi,
satu, dua, tiga dan selanjutnya
berbisik, bercanda tawa, hingga tak sadar lantangkan suara
kau tahu arti tos dari tangan-tangan itu?
tahukah senyum terima kasih itu?
atau pekik bersama
lantaran tak sengaja membakar jenggot sendiri?
dan titik hitam itu tetap ada
Terima kasih, Kawan!
(Sebelum mata terpejam, usai UAN’09 hari keempat)
April 23th, 2009
Sebelumnya kau hilang, seolah tiada dalam sepiku
saat semua ku kail sendiri, ku nikmati sendiri
nikmat memang, lezat bukan main
Bukan aku hidup tanpamu
bukan jua ku kenal kau sesaat
namun seolah kau malaikat penolong
atau kalau tak keberatan, ku sebut kau iblis pembantu
berkorban seolah dzikir demi masa depanku, masa depanmu
tak peduli akan mata tajam mengintai
tak peduli akan cambuk menanti
seolah kau bisu, seolah kau buta, seolah kau tuli
tak hirau apa pun
yang kau tahu lonceng belum terdera
namun aku tetap manunggu, Kawan
menunggu kau terima ucap getirku
Terima kasih, Kawan!
Belenggu Asa
(hari terakhir UAN’09)
April 24th, 2009
Kali ini,
mentari masih terbit dari ufuk timur
namun lain alur pada cerita bocah dari pesisir
doa-doa terus mengaliri nadi
tak ubahnya asa yang semakin memuncak
namun tertepis,
hanya sapuan bulu-bulu halus, kecil
sempat melayang, seolah ‘kan hilang
dan niat itu suci, Kawan!
hanya iblis saja yang begitu terkutuk
hingga titik-titik hitam itu ada
akankah hidupku berakhir diujung runcing ini
atau aku harus tetap berlari
menguras peluh dari awal
dan tergelincir dari setitik debu sial
karena dilema yang membelenggu asa?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar